Widiyatna

Bangsa ini pernah berjaya saat berada dalam masa Kerajaan Sriwijaya dan pada masa Keprabuan Majapahit. Dua Kerajaan Besar di Nusantara ini menjadi sebuah entitas yang diakui dan menjadi rujukan bagi Kerajaan-Kerajaan lain di dunia pada masa itu dalam menata kehidupan negara. Baik Sriwijaya maupun Majapahit mampu menjaga wilayah kedaulatan kerajaan hingga disegani oleh negara lain. Kemampuan dalam menjaga dan melebarkan ruang adalah bukti bahwa pemimpin kerajaan memiliki kesadaran ruang dan memahami pentingnya penguasaan ruang.

Majapahit, Sriwijaya dan Republik Indonesia sama-sama mendiami Kepulauan Nusantara. Hendaknya pemimpin republik ini juga memiliki kesadaran ruang (sense of space), padahal dengan menguasai ruang (darat, laut dan udara) sehingga tidak lagi ada intervensi dari pihak luar. Penguasaan tersebut memerlukan sarana dan kesiapan sumber daya manusia yang mampu menguasai teknologi. Penguasaan terhadap suatu ruang dapat di mulai dari laut mengingat sebagian besar dunia ini terdiri dari lautan. Pengembangan teknologi maritim memungkinkan suatu negara dapat menguasai laut.

Kuasailah laut maka Anda akan menguasai dunia. Pada zaman dulu Inggris telah membuktikan dengan armada laut yang kuat dan besar. Inggris mampu menjamah berbagai negara di Asia, Afrika dan Australia. Saat ini Amerika Serikat menyebar seluruh kekuatan laut di berbagai belahan samudera.

Paradigma penguasaan dunia terus berkembang. Saat ini muncul jargon, untuk menguasai dunia tidak cukup di laut tetapi juga harus menguasai udara. Teknologi angkasa luar berkembang, termasuk Roket dan Satelit. Penguasaan udara sangat penting untuk mendeteksi aktifitas di darat dan di laut. Ruang angkasa menjadi tempat yang strategis untuk menempatkan satelit. Sayangnya klaim atas pemilikan ruang angkasa dan ruang udara dilakukan secara sepihak oleh negara-negara maju yang memiliki teknologi satelit.

Geo Stationery Orbit (GSO) menjadi begitu penting bagi sebuah negara agar bisa berdaulat atas udaranya. Perebutan ruang begitu penting bagi suatu negara mengingat di masa yang akan datang semakin lama sumber daya alam akan semakin berkurang. Bagi Indonesia sangat penting untuk melindungi segenap ruang wilayah yang mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan luas perairan sebesar 3.257.483 km2,  dan luas total wilayah sebesar 7.150.000 km2 terbentang sepanjang 3.977 mil di antara lautan Pasifik dan lautan Hindia, dengan luas wilayah berupa lautan 5.210.000 km2 dan luas daratan 1.940.000 km2.

Secara geografis keberadaan Indonesia sangat sangat strategis (antara 2 samudera dan 2 benua) berada di tengah-tengah dunia. Secara geo politik dan geo ekonomi dapat memberikan konstribusi dan pengaruhnya terhadap dunia ini. Keberadaan Indonesia ini bisa dijadikan bargaining power dan merupakan kekuatan politik luar negeri Indonesia. Apalagi ditunjang dengan kemajuan teknologinya baik untuk kepentingan militer maupun non militer. Penguasaan teknologi ruang angkasa berupa Roket lambat laun akan menjadi kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk menguasai udara dan angkasa Indonesia. Begitu strategisnya letak Indonesia sehingga banyak satelit yang beredar di atas angkasa Indonesia pada umumnya milik asing, dengan kata lain Indonesia kehilangan kedaulatan atas udara. Agar kedaulatan bangsa dan negara ini tetap utuh kita harus mempunyai Kesadaran Ruang.

Kesadaran ruang yang dimiliki pemimpin Indonesia pernah diwujudkan dalam Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.

Setelah melalui perjuangan yang panjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Pada tahun 1999, Pemerintah menetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional.

Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957 ini mempertegas bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri, bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan, ketentuan ordonansi 1939 buatan Belanda, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.

Saat ini yang perlu menjadi perhatian yaitu usaha memperjuangkan pengakuan internasional atas ruang udara di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang selama ini dianggap wilayah bebas menjadi bagian dari kedaulatan wilayah Indonesia.

Dalam hukum positif internasional, bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan ekslusif pada ruang udara diatasnya. Namun demikian kedaulatan tersebut dibatasi oleh hak-hak negara lain untuk melintas di wilayah ruang udara sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944 dan perjanjian-perjanjian lain.

Posisi Indonesia yang sangat strategis ini membuat beberapa negara terutama Amerika Serikat dan Australia melakukan tekanan terhadap Indonesia dengan meminta akses hak lintas laut termasuk ruang udara di atasnya. Mereka tidak puas dengan tiga Alur Laut Kepulauan yang ditetapkan Indonesia, sehingga juga menuntut Alur Laut Timur-Barat yang melintas di tengah Laut Jawa. Alasannya, sejak dulu merupakan alur laut internasional. Sebenarnya yang diincar adalah kebebasan menggunakan ruang udara di atasnya. Bila berhasil, maka tidak hanya Amerika Serikat dan Australia saja yang menikmati akses laut dan udara tanpa izin, tetapi juga siapa saja termasuk pesawat dan kapal teroris, penyelundup, pencuri ikan dan lain-lain. Mereka bebas melintas melalui alur laut dan koridor ruang udara di atasnya.

Indonesia harus terus berjuang lagi agar pengakuan internasional sebagai negara kepulauan yang sudah diperoleh dan diakui tidak menjadi gugur dan sia-sia. Perjuangan mempertahankan ruang laut dan udara  akan berhasil bila para pemimpin dan bangsa ini memiliki kesadaran ruang yang tinggi, memiliki komitmen dan peduli terhadap keutuhan wilayah serta tidak inferior dan tidak takut terhadap negara luar yang akan mengacak-acak keutuhan wilayah NKRI.

Widiyatna

Alumni Sejarah Angkatan 1992

Buletin IKA UM Jakarta Edisi 7