Di sebuah desa di Sukabumi, Hedy Yvonne Soenoko (Bu Didiet) larut di dalam kehidupan masyarakat setempat. Alumni jurusan Bahasa Inggris angkatan 1971 ini Menawarkan konsep Bank Kayu untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan lebih jauh menyelamatkan lingkungan dari kerusakan akibat penambangan batu secara liar. Sebuah ide yang semula dianggap Mission Impossible.

Manglid, sebuah desa di wilayah Kabupaten Sukabumi. Setelah menempuh 3 jam perjalanan dari Jakarta menuju Sukabumi sampailah kami di kantor Kecamatan Cicurug. Oleh Bu Didiet kami dianjurkan untuk memarkir mobil di kantor kecamatan, lalu dijemput oleh Pak Saring, sopir keluarga Bu Didiet.

Untuk menuju lokasi melalui jalan makadam yang cukup terjal. Pada bebarapa tempat, tampak  punggung-punggung bukit yang sudah rusak akibat penambangan batu padas. Beberapa truk pengangkut batu padas juga beberapa kali berpapasan dengan kami. Konon batu-batu padas dan pasir dari daerah ini merupakan bahan bangunan yang bermutu di Jakarta. Tetapi akibat eksploitasi yang berlebihan, bukit-bukit menjadi rusak dan mengancam kelestarian lingkungan.

Tidak ingin kerusakan lingkungan semakin meluas, Bu Didiet membebaskan sebidang lahan seluas 2,5 HA. Tujuannya hanya satu, menyelamatkan lingkungan itu supaya tidak tambah rusak.

Ide Bu Didiet untuk meng­hijaukan kawasan ‘tambang batu’ itu selalu kandas. Bagaikan sebuah mission impossible karena perbukitan itu isinya hanya batu-batu gunung yang mustahil untuk dikelola dan ditanami pohon yang bernilai ekonomis.

Selama 13 tahun lahan yang sudah dhedhel-dhuwel itu tidak terurus, ide gila itu dimulai. Didukung oleh orang-orang kepercayaannya, Bu Didiet menawarkan konsep Bank Kayu.

Tahap persiapan cukup menyita tenaga, pikiran, waktu dan semangat pantang menyerah. Tantangan juga datang dari masyarakat yang ‘ogah-ogahan’ dengan tawaran yang diberikan oleh beliau.  Dengan konsep Bank Kayu, setiap petani akan mempunyai sekitar 25 pohon Albesia (kayu Sengon) dalam satu tahap. Pada tahap berikutnya jumlah pohonnya akan bertambah dan itu merupakan ‘deposito’ mereka yang akan menjadi uang ketika panen kayu telah tiba.

Tahap I seluas 0,5 HA. Kawasan seluas 2,5 akan dikelola dalam 4 – 5 tahapan sehingga nanti panennya bisa bergantian. Pembersihan lahan sangat berat karena vegetasinya berupa shrub setinggi 2 meteran, dengan akar dan batang yang sangat liat. Lalu pembuatan lubang-lubang dalam dimensi tertentu di tanah yang berbatu. Batu yang tidak bisa diambil, dibuat lubang dengan linggis yang bentuknya seperti bikin pot. Jadi nantinya diisi dengan tanah dan pupuk, persis seperti nanam di pot. Kontur tanah yang miring di-cut and fill. Betul-betul penuh perjuangan dan doa.

Amazing, dalam waktu 2 minggu setelah pohon Albesia ditaman, muncul pucuk-pucuk hijau muda. Tanda-tanda kehidupan telah tampak.

Untuk meyakinkan petani-petani  bukan hal mudah. Butuh energi dan kesabaran luar biasa untuk meyakinkan mereka bahwa ini adalah pekerjaan yang prospektif daripada mereka harus menambang batu seraya merusak lingkungan.

 

Sekar Gemati

Kehadiran Bu Didiet dan keluarga di Desa Manglid, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi mempunyai sejarah yang panjang. Awalnya keluarga Bu Didiet menjadikan rumahnya di Manglid hanya sebagai tempat peristirahatan saja. Dalam perkembangannya keluarga Bu Didiet semakin larut dalam kehidupan masyarakat setempat.

Seperti diceritakan beliau, pada suatu saat suami Bu Didiet, Pak Graito Usodo (almarhum) seorang perwira TNI AU yang cerdas dan visioner sedang reuni dengan teman-teman Akademi Militer. Saat reuni di sebuah tempat di Sukabumi itu, Pak Graito mengajak teman-temannya untuk ‘menghidupkan’ sebuah desa di perbukitan, sambil menunjuk ke arah bukit yang dimaksud.

Tampaknya, ide itu bertepuk sebelah tangan. Tidak seorang pun yang menyambut ajakan Pak Graito itu. Pak Graito pun sendirian menghidupkan desa di kaki bukit tersebut. Jiwa seni Pak Graito teraplikasi di tempat itu. Penataan lansekap dengan desain yang indah serta koleksi tanaman-tanaman hias yang langka. Kawasan rumah peristirahatan keluarga Pak Graito/Bu Didiet diberi nama Sekar Gemati. Sekar Gemati bermakna tekun memelihara tanaman (bunga/kembang).

Bertahun-tahun kemudian reuni itu digelar di Sekar Gemati. Teman-teman beliau terheran-heran, “berapa banyak dana yang dihabiskan untuk membangun tempat seindah ini?”. Pak Graito pun mengingatkan teman-temannya kembali tentang ide yang pernah dilontarkannya dulu. Dan inilah wujudnya sekarang!

 

Pengembangan Masyarakat

Sepeninggal Pak Graito, Bu Didiet terus mengembangkan ide-ide yang dibangun bersama suaminya. Sekar Gemati kini tidak hanya sekedar sebagai tempat peristirahatan semata. Bersama petani-petani setempat Bu Didiet dibantu oleh Pak Ripto dan Pak Cecep (orang kepercayaan beliau) juga melakukan pengembangan potensi masyarakat (community development). Bersama para petani, beliau mengembangkan pertanian organik. Bu Didiet juga membangun sebuah Sekolah Taman Kanak-kanak yang diberi nama Tunas Binangkit. Beberapa anak-anak juga diberi beasiswa oleh keluarga Bu Didiet untuk melanjutkan pendidikannya hingga ke perguruan tinggi.

Selain itu juga dibangun tempat kursus menjahit, perpustakaan serta Posyandu. Dalam perkembangannya Posyandu ini ditingkatkan statusnya menjadi Pos Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Luar biasa Bu Didiet. God bless you! (GMS)

Buletin IKA UM Jakarta Edisi 7