Plastic Society dan Doktrin Kepraktisan yang Semu
Saat mengingat kantong plastik, benak kita akan terpaut pada bungkus makanan dan bungkus segala hal. Plastik menjadi cara praktis untuk menjaga kualitas dan adab kesopanan yang tidak tergantikan pada abad 21. Alasan kepraktisan menuntut kita agar segala sesuatu harus serba mudah, tak boleh repot. Para pedagang, kasir, anak sekolah dan masyarakat lainnya sangat mudah menggunakan plastik dalam kesehariannya. Plastik telah melekat menjadi kebutuhan yang sulit untuk dicarikan penggantinya, hampir tidak ada aktivitas manusia yang tidak bersentuhan dengan plastik dewasa ini.
Tahun 1997-2003 saat saya duduk di bangku sekolah dasar, saya masih membeli nasi uduk dan pisang goreng seharga 50 rupiah dengan bungkus daun pisang yang dilipat rapi. Saat itu, tidak banyak ditemui plastik untuk keperluan membungkus nasi uduk, pisang goreng, dan makanan lainnya. Perlahan namun pasti, daun sebagai alat pembungkus kemudian tergantikan perannya.
Sebuah Kepraktisan Semu
Era dagang online seperti ini, kebutuhan terhadap plastik tidak dapat lagi dibendung. Plastik menjelma menjadi media penjaga kualitas produk, atau paling tidak jadi bukti bahwa produk tersebut masih baru dan terjaga kualitasnya. Plastik menunjukan dirinya bahwa apapun yang masih dibungkusnya punya harga yang lebih baik dari pada yang tercecer begitu saja. Tidak jarang peringatan membuka kemasan plastik mudah ditemui pada label produk dengan bertuliskan: “jangan diterima jika kemasan rusak” atau “membuka berarti membeli”.
Tidak hanya sampai disitu, plastik saat ini juga mengalami metamorfosis menjadi cerminan kesopanan sebuah pelayanan yang baik. Jika suatu waktu bertandang ke rumah orang, lalu kita disuguhi makanan dengan pelindung plastik yang menutupi sajiannya, kita akan menganggap pemilik rumah pasti seorang yang menjaga norma kesopanan dan kesehatan. Apalagi saat pandemi COVID-19 ini, plastik bagai mahkota di atas sajian makanan yang melindungi kontaminasi virus-virus yang mematikan. Kita tidak sadar bahwa plastic society sebenarnya telah menjadi stereotype untuk kita sendiri.
Sulit rasanya untuk tidak menjadi bagian plastic society. Plastik mempermudah berbagai urusan, tetapi kemudahan ini tidak lantas membuat kita menjadi rajin karenanya, yang ada justru kemalasan yang semakin menjadi. Hal yang diinginkan dengan mudah malah menjadi benih kemalasan yang semakin mengakar kuat. Semakin mudah dunia, harusnya tidak membuat manusia menjadi semakin manja. Tapi kenyataanya kita telah menjadi manusia yang manja. Sedikit-sedikit, bungkus plastik! Kita semua sangat sadar bahwa plastik mengancam keberlangsungan umat manusia di masa sekarang dan masa yang akan datang. Limbah ini menawarkan episode kematian yang mengenaskan bagi kelangsungan umat manusia dan lingkungan tempat tinggalnya.
Bukankah kita pernah mendengar sebuah berita tentang paus yang meregang nyawa dalam kondisi yang menyedihkan? saat dilakukan pembedahan pada perutnya ada puluhan kilogram plastik yang tidak dapat tercerna sempurna. Adalagi kisah burung dan penyu dengan kandungan mikroplastik pada cangkang telurnya karena memakan plastik yang dikiranya sebagai rumput laut—makanan alaminya. Pernahkah kita berkontempelasi sebentar saja? bahwa kematian tragis mereka semua disebabkan ulah manusia. Plastik yang kita anggap memudahkan hidup, justru menjadi malapetaka dan sengsara bagi makhluk lainnya.
Plastik akan menjadi bom waktu maha dahysat jika manusia tetap bergeming. Doktrin perihal kepraktisan yang digadang-gadang mampu menyelesaikan persoalan hidup, justru melahirkan kemalasan insan yang mengancam keberlangsungan mahkluk hidup lain. Kemudahan yang dianggap menyelesaikan kesulitan-kesulitan justru berujung pada kesulitan yang lebih parah lagi dikemudian hari. Semakin mudah manusia melakukan banyak hal dalam mengentaskan kesulitan, anehnya hal itu membuat malas dan manja kehidupan manusia-manusianya. Sebuah kepraktisan semu yang ternyata menipu bagi plastic society itu sendiri.
Plastik Biodegradable bukan Solusi
Berangkat dari sengkarut masalah plastik yang telah diuraikan diatas, kebutuhan plastik yang tidak mencemari lingkungan begitu sangat mendesak, perusahan berlomba menciptakan plastik yang dapat di daur ulang (biodegrabale). Konsep plastik biodegradable merupakan plastik yang dapat terurai kembali secara alami oleh aktivitas mikroba karena berbahan senyawa alami bersumber dari tumbuhan. Adapun salah satu jenis tumbuhan yang dapat digunakan untuk membuat plastik yang dapat di daur ulang adalah singkong (Amni et al, 2015; Kamsiati et al, 2017; Pulungan et al, 2018).
Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2019) produksi singkong di Indonesia pada 5 tahun terakhir (2014-2018) berada pada rentang 20-21 juta ton. Bahan dasar untuk membuat plastik yang baik dari singkong yaitu kandungan pati didalamnya. Penelitian yang dilakukan Hidayat (2009) bahwa singkong memiliki kandungan pati sebesar 32,4%, sementara plastik biodegradable yang memiliki sifat mekanik terbaik menurut penelitian Anita et al (2013) adalah 12 gram.
Proses pembuatan singkong menjadi plastik dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya adalah metode blending, setelahnya kemudian dicampur dengan bahan lain. Pasca proses pencetakan kemudian plastik biodegradable dapat diuji sifat fisik, mekanik, dan biodegradabilitas. Proses degradasi plastik disebabkan polimer plastik terurai melalui proses penurunan mutu dengan putusnya ikatan rantai polimer (Aripin & Kustiyah, 2017). Hanya saja waktu penghancurannya tidak secepat yang dibayangkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Napper & Thomson (2019) menyatakan bahwa plastik biodegradable tidak terurai dengan cepat. Percobaan dilakukan dengan treatment yang berbeda: menguburnya dalam tanah, dibiarkan pada udara terbuka, dan dihayutkan di laut, ketiga jenis perlakuan tersebut menghasilkan plastik yang utuh seperti sedia kala setelah 3 tahun lamanya. Selain itu ada pula penelitian yang dipublikasikan oleh UN Environment (2015) yang menyatakan bahwa plastik degradable yang digadang-gadang ramah lingkungan hanya bisa hancur dalam kondisi industrial composter dengan suhu diatas 50oC dan bukan pada kondisi alam bebas.
Solusi yang paling tepat tentu tidak harus menunggu inovasi dari orang lain, tetapi dapat dilakukan sendiri dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, membawa keranjang ketika berbelanja, membawa alat makan dan minum sendiri, serta hal-hal lain yang sifatnya pantang menggunakan plastik. Plastik yang ada disekitar kita dan sudah tidak terpakai, sangat bijak jika dapat kembali diolah dengan metode reuse, reduce dan recycle. Cara ini tentu tidak akan berhasil tanpa campur tangan Pemerintah dalam membuat regulasi serta peran dari seluruh elemen masyarakat. Membuang sampah plastik sembarangan dan mempercayakan masalah tersebut ke petugas kebersihan yang bertungkus-lumus melawan pencemaran lingkungan adalah perbuatan yang tidak baik.
Gigin Ginanjar, M.Pd.
Penulis merupakan Alumni Pascasarjana Universitas Negeri Malang Program Studi S2 Pendidikan Biologi Angkatan 2016