Pandemi, Vaksinasi, dan Ketakutan-Ketakutan Kita
Perasaan takut merupakan sebuah naluri dasar manusia. Rasa ini bisa saja muncul dari sedikitnya informasi yang kita miliki, atau ketidaktahuan kita akan hal yang membuat kita menjadi takut. Kita bisa mengambil contoh dari kasus belajar daring selama pandemi COVID-19 yang diterapkan disemua jenjang pendidikan selama setahun belakangan ini.
Semua orang khawatir sekaligus takut dengan efektifitas pembelajaran selama daring. Takut tidak mendapatkan pengetahuan yang baik, takut sulit fokus jika belajar dari rumah, takut menjadi semakin malas untuk membuka cakrawala dunia, dan ketakutan-ketakutan yang lain. Munculnya ketakutan ini cukup dimaklumi, mengingat banyaknya sengkarut masalah yang terjadi.
Boleh saja kita mengatakan bahwa pembelajaran daring ini tidak efektif, karena siswa sering mengalami kejenuhan belajar, pengajar kadang juga tidak cekatan, atau karena perkara sinyal yang selalu membuat naik pitam. Hanya kita perlu memahami, bahwa belajar daring yang saat ini diterapkan bertujuan untuk memutus rantai penyebaran COVID-19, agar pendemi ini tidak semakin meluas dan banyak merenggut korban jiwa, apalagi korban jiwa itu berasal dari remaja dan anak-anak.
Alasan kesehatan dan keselamatan setiap warga negara adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Lagipula, persoalan dilematik ini menghantam seluruh negara-negara lainnya, tidak hanya Indonesia. Baiknya, kita ambil sisi positifnya saja dengan tetap belajar giat dari rumah, adapun aktivitas yang dilakukan diluar ruangan tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Sebuah kebiasaan baru yang tentu berdampak baik untuk kita semua.
Ketakutan yang sebenarnya
Kita perlu sadar bahwa belum ada antivirus yang telah teruji secara efektif dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan COVID-19 (Handayani et al, 2020). Vaksin-vaksin yang akan dan telah diujikan saat ini baru pada tahap uji coba, karenanya upaya mencegah tentu masih lebih baik dari pada mengobatinya. Adapun upaya untuk menghindari penyakit ini berdasarkan WHO (2020) yaitu dengan selalu menjaga jarak, selalu menggunakan masker, dan mencuci tangan selepas melakukan aktivitas dari luar ruangan. Inilah yang seharusnya menjadi alasan ketakutan kita yang paling substansial.
Kenyataanya, kita masih lebih takut dicap ‘sok-soan’ menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat saat pandemi oleh orang lain dari pada takut dengan COVID-19 itu sendiri. Kita lebih takut terkena denda dan sanksi sosial dari Satpol PP ketika kedapatan tidak memakai masker dibandingan rasa takut terinfeksi COVID-19 itu sendiri. Kita lebih takut divaksinasi, dari pada takut mati karena COVID-19 itu sendiri.
Fakta dilapangan juga menunjukan bahwa masih sulit untuk menjelaskan betapa sangat berbahayanya makhluk yang tak kasat mata ini kepada masyarakat. Sebagian dari mereka memang ada yang percaya, beberapa ada yang tidak begitu peduli, beberapa lagi ada yang mengganggap ini adalah konspirasi asing yang penuh dengan tipu muslihat. Himbauan di setiap sudut kota dan tempat keramaian lainnya untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya COVID-19 dianggapnya sebuah angin lalu yang tidak dipedulikannya. Beberapa dari mereka tentu banyak juga yang memiiki pengetahuan yang baik perihal pandemi COVID-19.
Selama pandemi, setiap hari data mengenai kondisi real time jumlah kasus COVID-19 banyak dipublikasikan di media cetak, online ataupun televisi. Semisal pada Kamis 16 Desember 2020, Kota Malang masuk dalam ke zona merah. Makna dari warna merah adalah setiap orang diminta menunda atau membatalkan pertemuan dan acara yang tidak penting, namun kenyataanya warna itu tidak berdampak apapun jika melihat kondisi dan situasi di Kota Malang saat itu. Orang-orang masih merasa bebas dan tetap beraktivitas seperti biasa saja, bahkan tidak sedikit yang abai dalam menerapkan protokol kesehatan.
Semua orang masih merasa cukup aman ketika berada di tempat yang ramai untuk melakukan berbagai kegiatan bersama. Entah kemana ketakutan-ketakutan sebenarnya yang harusnya ditunjukan pada kondisi seperti ini. Buana (2020) menyatakan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya tidak peduli dengan himbauan untuk beraktivitas di tempat ramai saat pandemi, perilaku ini disebut sebagai bias kognitif yang menghasilkan kesalahan sistematis dalam berpikir dan mengambil keputusan.
Perilaku bias kognitif dipengaruhi oleh banyak hal, seperti aspek ketidaktahuan yang disebabkan kerena tingkat pendidikan yang masih rendah, ketakutan yang tidak boleh dilakukan selain kepada ‘Tuhan YME’, dan budaya mistis di Indonesia yang masih begitu melekat kuat. Sampai pernah ada pernyataan yang mengatakan bahwa “Jangan Takut kepada Virus, Takutlah kepada Tuhan, Virus itu ciptaan Tuhan!” Sepintas pernyataan ini nampak benar, padahal kenyataannya tidak begitu, karenanya kita tidak boleh menelannya bulat-bulat pernyataan nir akal seperti ini.
Pernyataan yang telah disebutkan diatas menggunakan Logika Fallacy yang menyesatkan. Logika ini menggambarkan kesesatan berpikir karena penggunaan bahasa verbal atau relevansi. Bagaimana mungkin kita diminta untuk tidak takut kepada virus yang berbahaya, hanya karena virus tidak lebih hebat dari Tuhan? Lantas jika singa itu ciptaan Tuhan dan tidak lebih hebat dari-Nya, maka tidak perlukah kita takut kepada singa? Mari kita berkontempelasi.
Kita semua sepakat singa adalah mahluk yang buas dan ganas, menghadapinya dengan alasan Singa itu mahluk Tuhan dan urusan mati merupakan urusan-Nya adalah bukti ketidaksempurnaan akal dalam berpikir. Demikian halnya dengan virus, mati konyol karena yakin bahwa kematian itu urusan-Nya sehingga sengaja mengabaikan protokol kesehatan saat pandemi tak jauh beda bobroknya dalam berpikir.
Alasan yang benar kita takut kepada virus bukan karena virus itu lebih maha hebat dari Tuhan, tapi karena virus itulah yang menjadi sebab kita bisa lebih cepat bertemu Tuhan. Virus dan Tuhan tidak dapat dibandingan secara aple to aple, karena tidak sebanding. Virus itu mahkluk, Tuhan itu yang menciptakan seluruh alam semesta, termasuk virus itu di dalamnya.
Takut kepada virus, takut divaksin, atau takut pembelajaran menjadi tidak maksimal adalah naluri dasar manusia dan itu normal saja. Kita bisa mengatasi ketakutan itu dengan tetap berpikir secara rasional, mengurangi rasa cemas, dan bersabar dengan keadaan yang terjadi. Ketakutan merupakan separuh penyakit, sementara ketenangan ada separuh obat dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan (Ibnu Sina, 980-1037).
Perjuangan melawan Ketakutan
Perjuangan belajar daring tidak hanya tentang kesulitan-kesulitan belajar saja, ada pemikiran-pemikiran menyesatkan ditengah masyarakat yang mesti di ubah paradigmanya. Semakin repot, jika pemikiran yang keliru itu di wariskan ke anak keturunannya, kemudian dianggap sebagai kebenaran yang hakiki, maka akan sangat sulit bagi pendidik merubah pemikiran tersebut. Hal ini penting, karena masih banyak orang diluar sana yang tidak mempercayai adanya virus. Ketidakpercayaan mengenai adanya pandemi juga menyebabkan anggapan yang keliru mengenai penerapan protokol kesehatan yang seharusnya dijalaninya dengan baik.
Ketidakpercayaan akan adanya pandemi yang disebabakan COVID-19 dan lebih meyakini teori konspirasi adalah kesalahan dalam berpikir. Apalagi kekeuh memaksa lembaga pendidikan untuk belajar tatap muka secara langsung, memaksa prosesi wisuda agar dilakukan seperti biasa, atau kegiatan lain yang potensial membuat kerumunan tentu tidaklah bijak.
Jika masih ada sekelompok masyarakat yang menganggap bahwa pandemi adalah sebuah kebohongan yang direkayasa, memuat kampanye untuk menakut-nakuti maka tentu kita tidak dapat berharap banyak akan adanya perubahan paradigma berpikir mereka. Kita bisa berharap kepada peserta didik yang saat ini pengetahuannya sedang dibentuk. Perubahan berpikir yang menuntun mereka ke jalan kebenaran dalam menempatkan ‘ketakutan’ pada tempat dan porsinya.
Mengharapkan adanya perubahan cara berpikir tentu tidak cukup dilakukan dengan hanya sekali saja, dia memakan waktu yang berulang-ulang. Paradigma berpikir ini merupakan akumulasi pengetahuan yang akan mengerak menjadi sebuah kebiasaan, dan kebiasaan itu pada akhirnya akan membentuk sebuah perilaku. Apa jadinya jika masyarakat di sebuah bangsa yang besar ini lebih percaya teori konspirasi dari pada adanya virus itu sendiri? maka zaman tentu akan kembali ke masa kegelapan, saat ilmu pengetahuan dianggap sebagai kebohongan sementara takhayul dan mitos dianggap sebagai kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dibantah dengan apapun.
Gigin Ginanjar, M.Pd.
Penulis merupakan Alumni Pascasarjana Universitas Negeri Malang Program Studi S2 Pendidikan Biologi Angkatan 2016