Optimalisasi Fungsi Maritim Sebagai Blue Carbon Untuk Mengurangi Pemanasan Global Melalui Penanaman Padang Lamun Menggunakan Tie Sack Planting Method
Pemanasan Global (Global Warning) merupakan salah satu masalah besar bagi kehidupan makhluk hidup di bumi. Pemanasan global adalah suatu proses peningkatan suhu rata-rata di bumi, baik pada lapisan atmosfer, daratan,dan lautan. Meningkatnya jumlah karbondioksida, efek rumah kaca, gas akibat pembakaran bahan fosil, dan aktivitas manusia lainnya, merupakan sumber utama terjadinya pemanasan global selama bertahun-tahun. Menurut Matt Rigby, seorang ilmuwan atmosfer di University of Birstol dan anggota eksperimen gas atmosfer. Efek gas rumah kaca yang kuat ini telah berkembang pesat di atmosfer selama beberapa dekade. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2). Hal tersebut disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batu bara, dan bahan aktif lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya. Selain gas CO2, gas lain yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah dinitrogenoksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana (CH4) dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca yang berakibat meningkatnya suhu permukaan bumi. Akibatnya adalah perubahan iklim yang sangat ekstrem di bumi. (Martono, M. 2015)
Emisi gas di atmosfer didominasi oleh emisi gas karbon. Gas karbon yang dimaksud adalah karbon dioksida yang merupakan gas rumah kaca penyebab utama panas terjebak di atmosfer atau biasa disebut dengan efek rumah kaca (green house effect). Hal ini menjadi pendorong utama perubahan iklim global. Pelepasan karbon dioksida tidak hanya berada di atmosfer melainkan terbawa ke biosfer dan laut. Laut mampu menyimpannya sebagai karbon dalam setiap komponennya, terutama pada tiga ekosistem yaitu bakau, lamun, dan rawa pasang surut yang terintegrasi dan biasa disebut vegetasi pesisir. Vegetasi pesisir menjadi sangat penting bagi pengendalian karbon, karena kemampuan daya serapnya bisa 77% lebih banyak dari vegetasi yang ada di darat seperti hutan.Untuk bisa menyerap karbon sebanyak mungkin maka kemampuan vegetasi di darat dan laut harus tetap dipertahankan. Di laut, mangrove dan lamun bisa diandalkan karena vegetasi pesisir berkontribusi sampai 50% dalam penimbunan karbon sedimen. Seperti halnya bakau yang mampu menyerap karbon dioksida (CO2), lamun juga memiliki potensi yang lebih besar dalam menyerap karbon. Menurut peneliti laboratorium biogeokimia Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aan J Wahyudi, padang lamun yang ada di Indonesia saat ini memiliki kemampuan menyerap CO2 sampai 1,9-5,8 Mega ton (Mt) karbon per tahun. Kemampuan menyerap sebanyak itu berasal dari padang lamun seluas 2,93.464 hektar (M.Ambari,2018). Namun pemanfaatan padang lamun sebagai bagian dari mitigasi dampak perubahan iklim hingga saat ini masih belum dilakukan secara optimal. Padahal, bersama dengan tanaman bakau (mangrove) potensi tumbuhan lamun diperairan laut diketahui sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan adanya inovasi untuk memanfaatkan padang lamun dengan cara menanamnya sebagai objek penyerap gas karbon.
Sebagai karbon biru, laut memiliki potensi sekitar lebih dari 50% dari total karbon dilepas dan diserap oleh laut. Oleh karena itu, laut memainkan peran utama dalam memperlambat laju perubahan iklim global dengan menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya sebagai karbon. Fakta ini merupakan salah satu manfaat besar laut di era perubahan iklim saat ini. Berdasarkan hasil temuan para ilmuwan tersebut, muncul konsep “karbon biru”. Karbon biru atau (blue carbon) merujuk pada karbon yang diserap dan disimpan di dalam laut dan ekosistem pesisir. Disebut ‘biru’ karena terbentuk di bawah air. Dari seluruh karbon biologis yang tersimpan di dunia, lebih dari separuh (55%) disimpan oleh organisme pesisir dan laut, oleh karena itu disebut karbon biru (blue carbon). Karbon biru dalam wujud vegetasi pesisir juga menyerap karbon jauh lebih efektif hingga 100 kali lebih cepat dan lebih permanen dibandingkan hutan daratan. (Trisno Utomo 2015).
Padang lamun merupakan ekosistem khas dilaut dangkal pada wilayah perairan hangat dengan dasar pasir. Lamun sebagai tempat berkembang biaknya ikan-ikan, bahan baku pupuk, bahan baku kertas, serta sebagai penyedia bahan makanan bagi biota laut. Bukan hanya itu, tanaman lamun juga dapat berfungsi sebagai penangkap sedimen sehingga terhindar dari erosi. Ekosistem lamun juga memiliki nilai serapan yang tinggi. Serapan karbon padang lamun di Indonesia adalah 992,67 kt C/tahun (setara 3,64Mt CO2/tahun), sedangkan laju serapan karbon sebesar 6,59 ton C/Ha/tahun (24,13ton CO2/ha/tahun) (Trisno Utomo, 2015). Lamun merupakan tumbuhan laut yang berkontribusi terhadap penyerapan karbon melalui proses fotosintesis yang kemudian disimpan dalam bentuk biomassa pada bagian daun, rizhoma dan akar. Biomassa lamun dipengaruhi oleh umur tegakan, komposisi, struktur tegakan dan perkembangan vegetasi. Karbon yang diserap melalui proses fotosintesis berasal dari atmosfer yang kemudian terlarut di laut dan disimpan dalam bentuk DIC-Dissolved Inorganic Carbon (UNEP 2009 dalam Martono 2015). Ekosistem lamun dapat menyimpan sebanyak 83.000 metrik ton karbon dalam setiap kilometer persegi dan mengendapkannya dalam jaringan bagian lamun atau sedimen dalam waktu yang cukup lama, sehingga keberadaan lamun di bumi sangat diperlukan dalam penyerapan karbon (Fourqurean et al., 2012 dalam Ambari 2018). Dengan demikian, padang lamun dapat berperan sebagai reservoir karbon di lautan atau dikenal dengan istilah karbon biru.
Persebaran dari tumbuhan padang lamun di Indonesia masih sangat sedikit, sehingga emisi karbon di atmosfer penyebab pemanasan global masih terus meningkat. Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi pemanasan global harus terus dilakukan. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan fungsi padang lamun dengan menanamnya secara besar-besaran diperairan laut. Untuk melakukan penanaman tumbuhan padang lamun tersebut cara yang paling efektif adalah dengan menggunakan metode ikat karung (tie sack planting method).
Metode ikat karung merupakan teknik penanaman dengan cara mengikatkan lamun yang ditransplantasikan ke karung. Metode ikat karung (tie sack planting method) cocok diterapkan di semua pantai baik yang memiliki arus kuat maupun arus yang tenang. Hal tersebut dikarenakan metode ikat karung lebih tahan terhadap arus kuat. Metode ini juga dapat digunakan sebagai media penanaman, karena adanya substrat di dalamnya. Metode ini sangat cocok pada perairan Indonesia yang memiliki tipe arus beragam dari arus tenang sampai arus kuat. Tie sack planting method dapat di aplikasikan di seluruh kawasan pesisir dan laut dangkal di Indonesia. Metode ini sangat sederhana dan mudah di aplikasikan di Indonesia. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengoptimalkan fungsi laut sebagai blue carbon untuk mengurangi gas karbon di atmosfer, sehingga salah satu penyebab pemanasan global dapat di kurangi.
Evi Fitria Winata, S.Pd.
Penulis merupakan Alumni Universitas Negeri Malang Program Studi Pendidikan Geografi Angkatan 2014