Judul Buku          OMBANG-AMBING KEADAAN

                            Kumpulan Impresi Sosial Budaya

Penulis                Adriono

Tebal                   202 halaman

Penerbit              Matabaru, Sidoarjo

Terbit                  Mei 2016

Sebuah buku baru hadir di khalayak. Yang menarik, penulisnya adalah teman kita sendiri, alumni IKIP Malang (Universitas Negeri Malang). Ya, buku berjudul “Ombang-ambing Keadaan” ini ditulis oleh Adriono (Pendidikan Bisnis, FPIPS, 1981).

Buku ini merupakan kumpulan esai atau kolomnya yang pernah dimuat di media massa atau diunggah di Facebook maupun di blog pribadinya. Sangat dimaklumi kalau Adriono produktif  dalam menulis. Sejak kuliah beliau aktif menulis di koran kampus, Komunikasi. Lulus kuliah, bapak tiga anak aseli Lawang yang saat ini tinggal di Sidoarjo tidak masuk ke dalam kelas menjadi guru, melainkan memasuki “dunia tanpa koma” yaitu menjadi wartawan di harian Surabaya Post. Sempat pindah di Arek Televisi Surabaya, sebelum akhirnya menjadi penulis lepas.

Dengan gaya bahasanya yang segar dan Jawa-Timuran, penulis menyajikan berbagai topik yang berkembang di masyarakat. Mengangkat problema orang pinggiran, pergeseran sosial budaya, hingga kegagapan orang kota dalam menyikapi keadaan. Lihat saja dari sub-subjudul yang diangkat di dalamnya seperti: Riyaya Gak Nggoreng Kopi, Menuju Orgasme Kultural, atau Gendam Membara.

Saat ini zaman memang berubah kelewat cepat sehingga mengombang-ambingkan banyak orang. Susah payah orang beradaptasi dan pontang-panting memantaskan diri. Sebagian dari mereka larut dalam gaya hidup meski dengan cara naif dan menggelikan.

Ada yang berangan-angan ingin cepat mapan lalu memilih jalan korupsi, berjudi, dan menggendam. Sedangkan rakyat kecil mencoba survive dengan jurus seadanya, sehingga sulit memenangkan pertarungan.  Agaknya  hidup di bawah atmosfir materialis-konsumtif tidaklah gampang.

Penulis mencontohkan, ada sosok pekerja pabrik konveksi yang puluhan tahun bekerja di ibukota, tiba-tiba tersenyum kecut ketika mudik ke desa di saat hari raya. Desa dan kota bukan lagi dikotomi. Kota bukan simbol kesuksesan di satu sisi dan desa lambang keterbelakangan di ujung sisi lainnya. Kini semuanya kabur. Kemajuan teknologi telah membikin keduanya jadi silang-sengkarut.

“Kebanggaannya hidup di kota pelan-pelan luruh. Segera diakui dalam banyak hal kini lebih nyaman hidup di desa. Fasilitas  memadai. Halaman dan ruang-ruang masih longgar melegakan, jalanan belum macet. Tak seperti dikontrakannya: Perabotan berebut tempat dengan penghuninya. Mau bikin taman dan kolam kecil pun susah.(Gamang Mudik, halaman 15).

Karena memiliki latar belakang pendidikan keguruan, dalam beberapa tulisannya Adriono terlihat menekankan betapa pentingnya peran pendidikan bagi keluarga, meskipun tidak spesifik membicarakan soal pendidikan. Ketika menulis tentang Gemi (hemat) sebenarnya penulis mengajak pembaca mereview kembali kebenaran lama yang diajarkan di sekolah-sekolah “rajinlah menabung, pastilah kau beruntung”, sehingga tidak terjerumus kepada maniak belanja berbasis kartu kredit.

Pada judul Begal Laten, penulis tidak hanya prihatin terhadap maraknya begal sepeda motor akhir-akhir ini tetapi juga pada jenis begal lain yang lebih bahaya karena mampu menyerimpung pikiran. “Pembegal pikiran yang dahsyat saat ini adalah iklan. Cecaran iklan setiap saat telah mengganggu akal sehat kita, bahkan mencucinya habis-habisan. Iklan sangat lihai mengubah ‘keinginan‘ menjadi ‘kebutuhan’. Dan orang tahu-tahu terpedaya. Menjadi overkonsumtif  tanpa merasa.” (halaman 135).

Masih banyak aneka problema dan fenomena sosial yang diulas dalam kumpulan buku ini. Jika ingin mengetahui lebih lanjut bisa ditengok di adrionomatabaru.blogspot.com Yang jelas, pada akhirnya semua masalah akan berpulang pada dua opsi sikap. Memilih larut pada ombang ambing keadaan ataukah setia merawat akal sehat! [GMS]

Buletin IKA UM Edisi 10 Tahun 2016