Oleh *Gatot M. SUtejo

Lebih dari 70 keluarga pelaku pendidikan berbasis rumah/keluarga (homeschooling)mengadakan acara kemah bersama pada tanggal 13 – 15 Agustus 2016. Mereka menamakan acara itu Kampung Komunitas Indonesia (KAMTASIA). Acara itu bertempat di kaki gunung Telomoyo, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Keluarga-keluarga ini datang dari berbagai kota di Indonesia, diantaranya dari Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Solo, Yogyakarta, Cirebon, Malang, Surabaya, Banjarmasin dan Pekanbaru, dan lain-lain.

Cukup menarik dicermati, karena keluarga-keluarga ini berasal dari komunitas-komunitas pelaku pendidikan rumah (homeschooling)di daerahnya masing-masing. Sifat komunitas ini longgar sekali, ada yang diorganisasi dengan baik (well organized), ada yang memiliki ikatan kuat, ada memiliki struktur dan pembagian tugas, ada pula yang sekedar kumpulan, dsb. Dalam acara kemah bersama KAMTASIA selama 3 hari 2 malam ini, mereka saling berbagi pengalaman dalam dunia pendidikan anak dan keluarga. Mereka tidak mencari komunitas mana yang paling ideal atau paling baik. Justru dengan penyelenggaraan KAMTASIA ini semua saling membagi informasi. Dan ketika sebuah informasi dibagikan, maka akan terjadi dinamika (terhadap informasi itu sendiri, pembawa informasi dan penerima informasi) yang akan menghasilkan gagasan/informasi baru.

 

Komunitas

Komunitas terdiri dari sekelompok orang yang memiliki kesamaan dan melakukan interaksi sosial di antara mereka. Komunitas dibentuk atau terbentuk karena adanya ‘kesamaan’ seperti: Kesamaan tempat (lokasi), kesamaan minat/hobi/profesi, Kesamaan nilai (values) atau paduan dari hal-hal tersebut.

 

Commmunity Based Education

Pendidikan Berbasis Masyarakat atau Comunity Based Education (CBE) intinya adalah bahwa masyarakat ikut menentukan kebijakan serta ikut berpartisipasi dalam menanggung beban pendidikan. Dalam pengertian ini masyarakat tidak menyerahkan seluruh beban pendidikan anak-anak kepada sekolah semata-mata, tetapi ikut memikirkan serta bertanggung jawab akan keberhasilan pendidikan anak-anak mereka. Dengan demikian, diharapkan tercipta hubungan yang harmonis antara pendidikan di rumah dan pendidikan di sekolah serta pendidikan di luar sekolah.

Kalau ditinjau secara pendekatan sistem, maka peserta didik CBE adalah mereka yang datang dari masyarakat. Proses pendidikan CBE terjadi di dalam masyarakat itu, dengan masukan sumberdaya dari lingkungan asalnya, serta keluarannya berlangsung di dalam masyarakat itu. Yang ditekankan dalam hal ini adalah bahwa tanggung jawab pendidikan masyarakat itu adalah masyarakat itu sendiri.

Masyarakat adalah stakeholder utama dari pendidikan di tempat itu. Masyarakat setempat bukan hanya sebagai penonton yang kadang-kadang diundang dalam permainan. Mestinya mereka itu berhak untuk menjadi pemain, bahkan menjadi pemain utama. Itu akan lebih jelas bila dibandingkan dengan apa yang terjadi selama ini.

Selama ini, pendidikan seolah-olah adalah pendidikan yang berasal dari pemerintah. Masyarakat hanyalah konsumen belaka. Masyarakat kadang-kadang dilibatkan, diundang ikut dalam kegiatan pendidikan (community involvement), tetapi tidak berperan serta (community participation). Kurikulum ditetapkan di pusat, tenaga pendidikan ditentukan dari pusat, sarana/prasarana ‘diberikan’ dari pusat, uangnya ditentukan dari pusat. Semuanya mau diseragamkan dari pusat.

Yang terjadi adalah masyarakat jadi pasif tidak tahu dan tidak biasa berkecimpung di dalam kehidupan pendidikan anak-anak mereka. Sekolah adalah sekolahnya pemerintah, sekolahnya guru-guru, negeri atau swasta.

Yang dilematis adalah siapa yang disebut masyarakat itu. Di dalam otonomi daerah, masyarakat diberi batasan masyarakat Kabupaten. Tetapi tentu di dalam suatu negara kesatuan, masyarakat Kabupaten adalah bagian dari masyarakat Provinsi dan selanjutnya adalah bagian dari masyarakat negara. Bangsa Indonesia bukanlah federasi masyarakat kabupaten, jadi meskipun otonomi daerah menyebut otonomi daerah tingkat dua, itu tidaklah berarti bahwa masyarakat kabupaten terpisah dari keseluruhan masyarakat negara kesatuan. Pertanyaan sekarang di dalam CBE, apakah yang menjadi tanggung jawab masyarakat setempat dan apa yang menjadi tanggung jawab masyarakat nasional? Hal ini yang harus menjadi pemikiran bersama.

 

CBE Pelaku Home Education

Bicara soal pendidikan adalah soal kualitas sumberdaya manusia (SDM). Soal SDM ini, di abad-21 akan menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi bangsa Indonesia untuk ikutan bergulir sejajar dengan bangsa lain. Persaingan dalam bentuk barang produksi, tenaga kerja, sektor jasa, pariwisata, dan lain-lain akan muncul ke permukaan. Namun, yang menjadi persoalan adalah sadarkah pemerintah atau bangsa Indonesia ini bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk menghadapi persaingan tersebut di muka? Adakah komitmen pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menentukan bahwa sektor pendidikan adalah faktor kunci bagi pembangunan bangsa dan negara.

Pendidikan dipandang sebagai penanaman modal jangka panjang. Pendidikan juga harus mampu membekali anak didik untuk menghadapi masa depannya. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang mampu membuat anak didiknya berhasil dalam kehidupan.

Melihat kondisi seperti itu, maka mempersiapkan pendidikan anak harus sungguh-sungguh. Bagi pelaku pendidikan rumah (home education), gagasan tentang Community Based Education (CBE) menjadi penting. CBE yang dibangun oleh komunitas pelaku pendidikan rumah sangat penting karena menjadi jawaban atas koreksi yang dilakukan terhadap penyelenggaraan pendidikan formal (sekolah). CBE yang dibangun oleh komunitas pendidikan rumah mendasarkan diri pada kebutuhan pendidikan anak yang beragam. Tidak semata kepada kebutuhan pasar.

Septi Peni Wulandani, pegiat pendidikan rumah memandang Community Based Education (CBE)secara sederhana. CBE dipandang sebagai sebuah proses pendidikan untuk mengembalikan fitrah anak. Dalam perjalanan sehari-hari tugas orang tua adalah menemani anak-anak untuk bisa mengembangkan semua potensi fitrahnya, baik fitrah keimanan, fitrah belajar dan fitrah bakatnya. Caranya dengan memaknai setiap moment dan merancang bersama anak sebuah program yang khas sesuai dengan tahap perkembangannya (customized education). Pada tahap usia  0-7 tahun, memperkaya anak-anak dengan wawasan, Pada tahap usia 7-14 tahun, mendengarkan suara anak-anak agar mereka kaya akan gagasan. Dan saat usia 14 tahun ke atas, saatnya anak-anak memasuki dunianya dengan kaya akan kegiatan. []

*Alumni Pendidikan Seni Rupa 1987 dan Praktisi Homeschooling